Hanya Ada Saat Ramadan, Inilah Filosofi Jemunak Jajanan Tradisional Magelang

- 17 Maret 2024, 22:46 WIB
Jemunak, makanan khas dari Desa Gunungpring, Muntilan, Magelang, yang ada hanya saat bulan Ramadan tiba.
Jemunak, makanan khas dari Desa Gunungpring, Muntilan, Magelang, yang ada hanya saat bulan Ramadan tiba. /Foto: Jatengprov.go.id

BOLTIM NEWS - Satu lagi jajanan tradisional di Jawa Tengah yang ada hanya saat bulan Ramadhan tiba. Namanya jemunak, makanan takjil dari Desa Gunungpring, Muntilan, Magelang.

Selain hanya dapat ditemui saat Ramadhan, keunikan jemunak adalah cara memasaknya yang masih menggunakan peralatan tradisional. Ketela pohon diparut lebih dulu sebelum dikukus setengah matang. Lalu, dicampur dengan ketan dan kembali dikukus hingga matang.

Baca Juga: Masjid Darussalam Banyumas, Bertiang Tunggal dan Berusia Lebih Dari Satu Abad

Selanjutnya ditumbuk menggunakan lumpang batu dan alu dari kayu. Barulah disajikan di atas daun pisang dengan ditaburi parutan kelapa dan juruh (gula merah cair).

Bukan sekadar panganan, kemunculan jemunak yang sudah turun temurun itu menyimpan filosofi bagi masyarakat. Yakni, keikhlasan bagi orang yang berpuasa akan menghasilkan berkah.

Sehingga nama jemunak lahir dari kalimat “ujung-ujung ketemu penak”, artinya “pada akhirnya akan mencapai kenikmatan”.

Baca Juga: Berarsitektur Mirip Kelenteng, Inilah Keunikan Masjid Muhammad Cheng Hoo Purbalingga

Salah seorang pembuat jemunak di Desa Gunungpring, Ponisih mengungkapkan, tidak lengkap kalau buka puasa tanpa jemunak.

“Ujung-ujung ketemu penak itu maksudnya ya setelah puasa seharian, nantinya akan dapat kenikmatan saat berbuka,” ujar Ponisih beberapa hari lalu.

Ponisih adalah generasi ke lima yang memproduksi jemunak di keluarganya. Namun, ia hanya berproduksi jika Ramadhan tiba. Di luar itu, ia tidak berproduksi meski mendapat pesanan dari masyarakat.

Baca Juga: Tinjau Banjir di Grobogan, Pj Gubernur Jateng Serahkan Bantuan Ratusan Juta

“Ya saat puasa saja, kalau tidak ya tidak buat. Kalau ada pesanan di luar bulan puasa saya tolak,” tegasnya.

Menurut Ponisih, jemunak menjadi sajian “wajib” terutama bagi masyarakat Gunungpring saat berbuka puasa. Buktinya, hingga saat ini, ia tidak pernah sepi dari permintaan membuat jamunak.

“Tiap hari menghabiskan 25 kilogram ketela. Itu kalo diolah menjadi sekitar 700 bungkus,” paparnya.

Dalam berproduksi, Ponisih dibantu oleh adiknya, Kasmirah, dan anaknya, Danu Supriyanto.

Baca Juga: Pengungsi Banjir di Pekalongan Peroleh Layanan Cek Kesehatan dan Bantuan Air Bersih

“Untuk satu bungkusnya kami jual Rp3.000,” ungkapnya.

Ponisih mengaku, Sultan dari Keraton Yogyakarta pernah memesan jemunaknya.

“Waktu itu ada acara kuliner di Gunungpring, ada utusan dari Yogya, selang berapa hari itu kok minta (dibuatkan). Lupa (pesan) berapa ya, tapi sepertinya cuma untuk konsumsi pribadi,” tandasnya.***

Editor: Gazali Ligawa

Sumber: Jatengprov.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x